Rabu, 13 Maret 2013

CERPEN


SANG KAKAK
            “Sudah lah Sam, rasanya  sudah tak kau anggap aku ini sebagai Ayahmu?” kata ayah  melarang kakak pergi, sambil menggendongku.
            “Ayah. Aku masih muda Ayah, izinkanlah aku untuk ikut berjuang meneruskan usaha Ayah. Aku tak kan pergi jika ayah tak mengizinkan.” Kata kak Sam sambil memeluk Ayahku.
            “Sam, Ayahmu ini memang sudah tua. Mengangkat senjata seperti dulu bagiku sudah hal yang berat. Semangatmu masih membara. Tapi kau harus tau, kau masih punya keluarga. Kau masih harus melanjutkan sekolah di MULO.” Kata ayahku.
            “Ayah, kumohon. Aku tak bisa bersekolah dengan penjajah yang terus mengganggu rakyat. Aku yakin, dulu sewaktu nAyah masih muda, ayah juga sama sepertiku. Ayah pasti merasakan apa yang kurasakan. Aku sakit tiap kali ingat pengderitaan dan kematian Ibu. Yah. Kumohon, izinkan aku.” Kak Sam jatuh tersungkur, mencium kaki ayah. Aku memang masih kecil. Umurku empat tahun, dan ibuku meninggal saat aku tiga tahun. Waktu itu Ayah sedang terjun ke medan perang. Suara senjata api menghujan deras. Ibuku bertugas menjaga aku dan kakak ku. “Belanda ada dimana-mana. Sebentar lagi mereka akan masuk ke rumah kita. Kalian harus sembunyi.” Kata ibulku padaku dan kakak. Waktu itu umur kakak sudah 15 tahun. Dia sudah besar, karena dia laki-laki. Ibu menyuruh kak Sam sembunyi dibawah meja, sementara aku yang cukup kecil dimasukkan ke dalam lemari. Ibu melarang kami keluar, apapun yang terjadi. Dan yang terjadi setelahnya adalah suara tembakan yang bersama dengan jeritan suara ibuku. Waktu itu aku takut sekali. Aku ak dapat berbuat apa-apa. Bergerak pun takut. Sementara aku tak tau apa yang terjadi dengan kak Sam.
            “Ratih, bangunlah istriku.” Suara Ayahku datang. Ayah kenapa menangis? Fikirku. “Ayah, aku ada disini.” Teriak ku. Ayah segera membuka pintu dan menggendongku. Kak Sam sedang nangis dan memeluk Ibu. “Apa yang terjadi pada Ibu, Yah?” tanyaku.
            “Ibumu sudah meninggal nak.” Jawab Ayah. Aku menangis karena ibuku meninggal. Aku tak bias ketemu ibu lagi. Eh, kok jadi cerita. Kembali ke yang tadi.
            “Baiklah Sam, Ayah menyetujuimu. Berangkatlah. Tapi luruskan niatmu. Kau jangan berperang karena membalas dendam ibumu. Karna umur itu sudah takdir nak. Kau harus berniat untuk membela tanah air kita, gunakan patriotism mu Sam.” Kata ayah panjang lebar.
            “Terima kasih Ayah. Aku akan melaksanakan nasehat Ayah. Do’akan aku Yah.”
            “Kak Sam mau pergi perang ya?” tanyaku.
 “Iya. Din, kamu jangan nakal ya? Kakak akan berjuang seperti Ayah. Kakak pastia akan pulang.” Kak Sam memelukku dan dia menitik kan air matanya. “Kakak pasti akan cepat pulang. Untuk kamu. Kakak sayang kamu Dik. Kakak janji, akan pulang secepatnya.”
            “Aku juga sayang kakak.” Jawabku. Kak Sam melepaskan pelukan ku, dan beralih ke tas ranselnya dan mengambil senjata api milik ayahku, dan pergi. Kulihat ayah menitikkan air matanya.
            Bertahun-tahun kakak ku pergi. Dia tak pulang-pulang. Sampai sekarang, sudah merdeka dan ama, dan kini aku sudah berumur lima belas tahun. Duka besar kembali menimpaku. Ayahku sudah meninggal. Usai pemakaman, warga segera pulang ke rumah masing-masing. Aku hanya berdiam diri di makam Ayah. Udara panas tak kurasaklan karena makam Ayahku tepat dibawah pohon kamboja. Aku benar-benar tak tau harus kemana. Aku hilang semangat dan arah tujuan hidup. Aku juga tak tau kemana kakak ku sekarang. Mungkin dia sudah tertangkap, atau terbunuh belanda. Ya Tuhan, sanggupkah aku menghadapi semua ini sendirian, aku sudah kehilangan tujuan hidup.
            “Diana. Maafkan aku dik. Aku tak bisa cepat pulang. Inikah makam ayah kita?” Tanya orang suku jawa. Seperti seorang tentara, yang tiba-tiba muncul dari belakangku. Aku tak menjawabnya. Rasanya lidahku terlalu kelu untuk mengeluarkan kata-kata.
            “Din, maafkan aku. Sekarang, kau harus tinggal dengan kakak.” Kata orang itu, dan dia membimbingku ke arah mobilnya. ‘Din, Kau lupa denganku, ini aku. Kak Sam. Wajar kalau kau lupa, karena waktu kakak meninggalkanmu, kau masih empat tahun.” Katanya. Mungkin orang itu benar-benar kakak ku. Tapi mungkinkah, kakak ku masih hidup, sementara selama ini sudah tak ada kabar. Tapi seandainya dia bukan kakak ku, apakah ada orang yang tega menipu orang susah sepertiku? Pastilah tak ada yang tega. Aku memikirkan hal itu sampai aku tertidur. Karena memang hari sudah malam. Aku tak tau, orang bertubuh kekar yang ngaku sebagai Kak Sam ini mau membawaku kemana.
            Aku terbangun sudah dalam sebuah kamar. Ada dimana aku? Fikirku. Aku keluar dari kamar ini. Tak ada siapa-siapa. Fikirku ketika aku membuka pintu mau keluar. Aku berjalan perlahan namun pasti, menyusuri lorong rumah besar namun sepi ini. Kulihat foto Ayah, waktu masih muda, kenapa ada disini?  Foto kak Sam, waktu masih remaja, dan perubahan nya, sampai fotonya saat ini. Semua memegang senjata. Ternyata benar, orang itu Kak Sam. Ya Tuhan, aku…. Selama ini….
            “Benar Din, aku Kak Sam kamu. Aku kakak mu yang lama meninggalkanmu. Maafkan kakak Din.” Kata Kak Sam yang tiba-tiba muncul dari belakang.
            “Kak Sam.” Pekik ku. Aku segara memeluknya. “Aku rindu kamu, adik ku. Kakak janji, tak kan ninggalin kamu lagi.” Kata kak Sam.
“Jadi sekarang kakak sudah menjadi TNI, Din, kakak sudah bisa seperti Ayah.”
“Iya. Aku senang bisa bertemu dengan kakak lagi. Aku rindu kakak.”