SANG
KAKAK
“Sudah lah Sam, rasanya
sudah tak kau anggap aku ini sebagai Ayahmu?” kata ayah melarang kakak pergi, sambil menggendongku.
“Ayah. Aku masih muda Ayah, izinkanlah aku untuk ikut
berjuang meneruskan usaha Ayah. Aku tak kan pergi jika ayah tak mengizinkan.”
Kata kak Sam sambil memeluk Ayahku.
“Sam, Ayahmu ini memang sudah tua. Mengangkat senjata
seperti dulu bagiku sudah hal yang berat. Semangatmu masih membara. Tapi kau
harus tau, kau masih punya keluarga. Kau masih harus melanjutkan sekolah di
MULO.” Kata ayahku.
“Ayah, kumohon. Aku tak bisa bersekolah dengan penjajah
yang terus mengganggu rakyat. Aku yakin, dulu sewaktu nAyah masih muda, ayah
juga sama sepertiku. Ayah pasti merasakan apa yang kurasakan. Aku sakit tiap
kali ingat pengderitaan dan kematian Ibu. Yah. Kumohon, izinkan aku.” Kak Sam
jatuh tersungkur, mencium kaki ayah. Aku memang masih kecil. Umurku empat
tahun, dan ibuku meninggal saat aku tiga tahun. Waktu itu Ayah sedang terjun ke
medan perang. Suara senjata api menghujan deras. Ibuku bertugas menjaga aku dan
kakak ku. “Belanda ada dimana-mana. Sebentar lagi mereka akan masuk ke rumah
kita. Kalian harus sembunyi.” Kata ibulku padaku dan kakak. Waktu itu umur
kakak sudah 15 tahun. Dia sudah besar, karena dia laki-laki. Ibu menyuruh kak
Sam sembunyi dibawah meja, sementara aku yang cukup kecil dimasukkan ke dalam
lemari. Ibu melarang kami keluar, apapun yang terjadi. Dan yang terjadi
setelahnya adalah suara tembakan yang bersama dengan jeritan suara ibuku. Waktu
itu aku takut sekali. Aku ak dapat berbuat apa-apa. Bergerak pun takut.
Sementara aku tak tau apa yang terjadi dengan kak Sam.
“Ratih, bangunlah istriku.” Suara Ayahku datang. Ayah
kenapa menangis? Fikirku. “Ayah, aku ada disini.” Teriak ku. Ayah segera
membuka pintu dan menggendongku. Kak Sam sedang nangis dan memeluk Ibu. “Apa
yang terjadi pada Ibu, Yah?” tanyaku.
“Ibumu sudah meninggal nak.” Jawab Ayah. Aku menangis
karena ibuku meninggal. Aku tak bias ketemu ibu lagi. Eh, kok jadi cerita.
Kembali ke yang tadi.
“Baiklah Sam, Ayah menyetujuimu. Berangkatlah. Tapi
luruskan niatmu. Kau jangan berperang karena membalas dendam ibumu. Karna umur
itu sudah takdir nak. Kau harus berniat untuk membela tanah air kita, gunakan
patriotism mu Sam.” Kata ayah panjang lebar.
“Terima kasih Ayah. Aku akan melaksanakan nasehat Ayah.
Do’akan aku Yah.”
“Kak Sam mau pergi perang ya?” tanyaku.
“Iya. Din, kamu jangan nakal ya? Kakak akan
berjuang seperti Ayah. Kakak pastia akan pulang.” Kak Sam memelukku dan dia
menitik kan air matanya. “Kakak pasti akan cepat pulang. Untuk kamu. Kakak
sayang kamu Dik. Kakak janji, akan pulang secepatnya.”
“Aku juga sayang kakak.” Jawabku. Kak Sam melepaskan
pelukan ku, dan beralih ke tas ranselnya dan mengambil senjata api milik
ayahku, dan pergi. Kulihat ayah menitikkan air matanya.
Bertahun-tahun kakak ku pergi. Dia tak pulang-pulang.
Sampai sekarang, sudah merdeka dan ama, dan kini aku sudah berumur lima belas
tahun. Duka besar kembali menimpaku. Ayahku sudah meninggal. Usai pemakaman,
warga segera pulang ke rumah masing-masing. Aku hanya berdiam diri di makam
Ayah. Udara panas tak kurasaklan karena makam Ayahku tepat dibawah pohon
kamboja. Aku benar-benar tak tau harus kemana. Aku hilang semangat dan arah
tujuan hidup. Aku juga tak tau kemana kakak ku sekarang. Mungkin dia sudah
tertangkap, atau terbunuh belanda. Ya Tuhan, sanggupkah aku menghadapi semua
ini sendirian, aku sudah kehilangan tujuan hidup.
“Diana. Maafkan aku dik. Aku tak bisa cepat pulang.
Inikah makam ayah kita?” Tanya orang suku jawa. Seperti seorang tentara, yang
tiba-tiba muncul dari belakangku. Aku tak menjawabnya. Rasanya lidahku terlalu
kelu untuk mengeluarkan kata-kata.
“Din, maafkan aku. Sekarang, kau harus tinggal dengan
kakak.” Kata orang itu, dan dia membimbingku ke arah mobilnya. ‘Din, Kau lupa
denganku, ini aku. Kak Sam. Wajar kalau kau lupa, karena waktu kakak
meninggalkanmu, kau masih empat tahun.” Katanya. Mungkin orang itu benar-benar
kakak ku. Tapi mungkinkah, kakak ku masih hidup, sementara selama ini sudah tak
ada kabar. Tapi seandainya dia bukan kakak ku, apakah ada orang yang tega
menipu orang susah sepertiku? Pastilah tak ada yang tega. Aku memikirkan hal
itu sampai aku tertidur. Karena memang hari sudah malam. Aku tak tau, orang
bertubuh kekar yang ngaku sebagai Kak Sam ini mau membawaku kemana.
Aku terbangun sudah dalam sebuah kamar. Ada dimana aku?
Fikirku. Aku keluar dari kamar ini. Tak ada siapa-siapa. Fikirku ketika aku
membuka pintu mau keluar. Aku berjalan perlahan namun pasti, menyusuri lorong rumah
besar namun sepi ini. Kulihat foto Ayah, waktu masih muda, kenapa ada disini? Foto kak Sam, waktu masih remaja, dan
perubahan nya, sampai fotonya saat ini. Semua memegang senjata. Ternyata benar,
orang itu Kak Sam. Ya Tuhan, aku…. Selama ini….
“Benar Din, aku Kak Sam kamu. Aku kakak mu yang lama
meninggalkanmu. Maafkan kakak Din.” Kata Kak Sam yang tiba-tiba muncul dari
belakang.
“Kak Sam.” Pekik ku. Aku segara memeluknya. “Aku rindu
kamu, adik ku. Kakak janji, tak kan ninggalin kamu lagi.” Kata kak Sam.
“Jadi
sekarang kakak sudah menjadi TNI, Din, kakak sudah bisa seperti Ayah.”
“Iya.
Aku senang bisa bertemu dengan kakak lagi. Aku rindu kakak.”